Sabtu, 15 Mei 2010

IHTISAB

Barangsiapa yang berpuasa karena iman dan ihtisab, Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu. (HR. Muttafaq Alaih)


MARHABAN RAMADHAN. Alhamdulillah. Bulan penuh berkah itu telah datang. Di sinilah Allah menampakkan kasih sayangnya yang tak pernah kering-keringnya itu. Bulan penuh cinta, ampunan dan lindungan Ilahi. Semoga kita dapat mengisinya dengan penuh rasa syukur.


Hadis yang popular di bulan Ramadhan tadi dikeluarkan oleh Imam Bukhari dam Imam Muslim. Demikian akrabnya, sampai-sampai dijadikan salah satu copy dalam iklan sepeda motor dan minuman berenergi menjelang buka puasa. Bahasa Arabnya kira-kira bunyinya begini:

Man shoma romadhona imaanan wahtisaban, ghufirolahu maa taqodama min dzambih


Pada segmen kali ini, penulis bukanlah mencoba untuk menafsirkan hadis. Penulis merasa belum punya ilmu yang mumpuni untuk itu. Saya hanya mengupas bagian permukaan mengenai apa itu ihtisab dalam kalimat wahtisaban tadi. Banyak ustadz/kyai/mubaligh yang sering mengartikan "niat yang tulus semata-mata karena Allah" atau "berharap pahala". Namun, kedua makna ini tidaklah tepat.

Apabila ihtisab adalah niat tulus atau berharap pahala, mengapa justru ada pula peringatan Rasulullah SAW:

"Berapa banyak orang berpuasa tetapi tidak mendapat manfaat apa-apa dari puasanya kecuali hanyalah lapar dan dahaga".
(HR.Ibn Majah, Ad-Darimi, dan yang selain mereka dengan sanad yang sahih)

Ihtisab menurut keyakinan penulis lebih cenderung kepada pengertian "hisab" yang artinya "perhitungan" atau "berhitung". Kita jadi teringat kata mutiara dari Hadrat Umar ra:

"Berhitunglah kepada dirimu sendiri sebelum kamu nanti dihitung di hari kemudian"

Jika kita beriman dengan hari akhirat, maka kita pun wajib percaya akan adanya yaumul hisab, hari perhitungan. Di saat itu Allah bukakan kitab amal perbuatan manusia selama hidup di dunia, semuanya -- baik, buruk, manfaat, mudharat -- sampai sekecil-kecilnya. Di hari itulah tampak wajah pucat-pasi orang-orang yang bergelimang dosa.

Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang di dalamnya, dan mereka berkata: "Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada di dalamnya. Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun" (QS Al Kahfi [18]:49)


Allah akan menegakkan neraca (mizan) dengan seadil-adilnya. Bedanya, yang ditimbang bukanlah neraca keuangan, melainkan neraca perbuatan baik dan buruk manusia.

Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika hanya seberat biji dzarrah pun, pasti Kami mendatangkan nya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan. (QS Al Anbiya [21]:47)

Sudah sewajarnya, jika sedini mungkin kita mempersiapkan diri akan datang hari hisab dengan menghitung diri kita pula sebagaimana anjuran Umar ibn Khattab ra. Belajarlah jadi akuntan bagi diri kita sendiri di dunia ini. Kita pun mulailah dari sekarang merancang daftar "aset dan liabilitas" amal kita, menyusun "untung dan rugi" perkataan, tindak-tanduk dan perangai kita sehari-hari. Hasilnya "hitung-hitungan" ini bisa kita catat semua ini dalam buku besar diri kita pribadi.

Bagaimana hasilnya nanti? Apakah diri kita dapat predikat "Wajar Tanpa Syarat" (WTS), atau malah divonis "Default" dan akhirnya nama kita masuk ke dalam "Daftar Orang Tercela" (DOT). Atau bagaimana... Itu terserah Anda.


Di dalam Al-Quran juga terdapat ayat yang intinya adalah anjuran Allah SWT agar manusia senantiasa melakukan ihtisab:

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok; dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS Al-Haysr [59]: 18)

Memperhatikan tentu saja berarti melihat dengan seksama dan penuh perhitungan seraya bertanya, "Apa sudah cukup bekal-bekal kita punya untuk menuju hari akhirat?"


Momentum Ramadhan ini adalah saat tepat untuk "berhitung". Mungkin bisa dimulai dengan mencatat setiap harinya kita shalat wajib berjamaah, shalat sunat, tarawih, tadarus dan bersedekah. Anda bisa juga tambahkan datanya secara kreatif tentang amaliah negatif yang (seharusnya) bisa kita hindari di bulan ini seperti: berdusta, ingkar janji, berkhianat, bergunjing, marah, berkata kotor, perbuatan keji dsb. Wah, nampaknya ini agak sulit. Memang.. tapi yang terpenting Anda sudah berusaha untuk jujur pada diri sendiri. Kenapa tidak dicoba?

Semoga di bulan suci ini kita termasuk orang-orang yang diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Caranya? Ihtisablah...

1 komentar:

  1. Assalamualaikum.Ulama mana yang mendefinasikan ihtisab seoerti itu?

    BalasHapus